Uploaded byHidayat 0% found this document useful 0 votes2K views15 pagesDescriptionghfjklhCopyright© © All Rights ReservedShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes2K views15 pagesPengesahan UUD 1945 Dan Pemilihan Presiden SertaUploaded byHidayat DescriptionghfjklhFull descriptionJump to Page You are on page 1of 15Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 6 to 13 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Jakarta-. Undang-undang Dasar 1945 atau UUD 45, merupakan hukum dasar tertulis oleh konstitusi pemerintahan Indonesia. UUD 45 disahkan sebagai Undang-undang Dasar pada 18 Agustus 1945. UndangjabatanPresiden dan Wakil Presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, namun pengaturan tersebut tidak diikuti oleh pengaturan batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. tunggal” dalam soal pemilihan Presiden”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalam lima kali pemilihan Presiden selama masa peralihan, MajelisPada masa Republik pertama 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 yang landasannya ialah UUD 1945, soal pengisian jabatan Presiden diatur dalam pasal 6 ayat 2, yakni “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”.23 Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat diketahui tiga hal, yakni24 1. Jabatan Presiden diisi dengan cara pemilihan. 2. Sistem yang dipakai ialah sistem pemilihan tidak langsung. Rakyat memilih terlebih dahulu wakil-wakilnya yang akan duduk di dalam suatu badan, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kemudian selnjutnya badan tersebut yang melakukan pemilihan Presiden. majelis tersebut bukan merupakan badan ad hoc melainkan badan tetap yang selain berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden, juga mempunyai wewenang lain, yaitu menetapkan undang-undang dasar, menetapkan garis besar haluan negara dan mengubah undang-undang dasar. 3. Cara mengambil keputusan digunakan asas suara terbanyak, dengan kata lain melalui pemungutan suara. Hal tersebut menunjukan bahwa pembuat UUD 1945 mengantisipasi lebih dari satu orang calon Presiden. selanjutnya yang terpilih ialah 23 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, Disertasi S3 Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 1993, h. 45. calon yang mendapatkan suara terbanyak, maksudnya adalah suara terbanyak mutlak. Namun teori di atas dengan praktiknya berbeda. Pada sidang pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI 1945, Soekarno dipilih sebagai Presiden secara Hal tersebut dikarenakan hanya terdapat satu orang calon atau calon tunggal untuk masing-masing jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Maka dengan kata lain, PPKI di dalam rapatnya pada saat itu tidak mengadakan pemilihan melainkan menyetujui dengan suara bulat pengangkatan Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia tanpa melalui pemungutan suara sebagaimana lazimnya yang dilaksanakan pada setiap proses pemilihan/pengambilan keputusan dengan suara Pada masa Republik kedua 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 yang berdasarkan konstitusi RIS perihal pemilihan Presiden diatur di dalam Pasal 69 ayat 2, yakni “Beliau Presiden, pen. dipilih oleh orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang tersebut dalam Pasal 2. Dalam memilih Presiden, orang-orang yang dikuasakan itu berusaha mencapai kata sepakat.” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa pada masa ini pemilihan dilaksanakan dengan sistem pemilihan yang tidak dilakukan oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak dilakukan oleh sebuah badan yang terdiri 25 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46. 26 Muchyar Yara, Pengisian Jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara, cet. I, Jakarta Nadhilah Ceria Indonesia, 1995, h. 163. dari orang-orang yang mendapat mandate dari pemerintah daerah-daerah bagian. Badan ini bersifat ad hoc yang berarti tugasnya ialah khusus untuk memilih Presiden. Setelah tugas itu selesai, maka badan itu pun bubar. Selanjutnya sebagai catatan bahwa pada Pemilihan Presiden yang kedua ini yakni pada tanggal 16 Desember 1949, Ir. Soekarno juga terpilih secara aklamasi, dengan kata lain, terulang kembali preseden calon tunggal untuk kedua Pada masa Republik ketiga 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959, yang berlandaskan UUD 1950, Ir. Soekarno tetap memangku jabatan Presiden berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 141 ayat 3 UUD Soal pengaturan pemilihan Presiden baru didelegasikan oleh pembuat Undang-Undang Dasar kepada pembuat Undang-Undang biasa, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 45 ayat 3, yakni “Presiden dan Wakil Presiden dipilih menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Namun hingga berakhirnya masa republik ketiga, undang-undang yang dimaksud tersebut tidak terbentuk. Demikian pula konstituante hasil pemilihan umum 1955 tidak berhasil membentuk undang-undang dasar baru yang diharapkan dapat mengatur perihal pemilihan Presiden. badan tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno sebelum tugasnya 27 Harun Alrasid, “Masalah Pengisian Jabatan Presiden Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 Sampai Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat 1993”, h. 46. 28Ibid , h. 47. 29Ibid. Pada masa Republik keempat 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 menurut Pasal 6 ayat 2 UUD 1945, yang berlaku kembali berdasarkan Dekrit Presiden. Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun Pasal tersebut belum bisa diterapkan, dikarenakan MPR hasil pemilu belum terbentuk. Hal tersebut merupakan berkat yang tersembunyi blessing in disguise; jikalau pemilu dilaksanakan pada masa Orde Lama, maka kemungkinan besar MPR akan didominasi oleh PKI, karena Masyumi dan PSI telah dibubarkan dan PNI sudah Situasi politik berubah setelah perebutan kekuasaan kudeta yang dilakukan oleh PKI 30 September 1963 mengalami kegagalan. Peristiwa tersebut merupakan the beginning of the end bagi Presiden Soekarno yang tidak mengambil tindakan tegas terhadap Untuk menyelesaikan situasi konflik antara kekuatan Orde Lama dan Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang para anggotanya telah diganti oleh unsur-unsur Orde Baru, mengadakan sidang umum ke-IV dari tanggal 20 Juni – 5 Juli 1966. Sidang tersebut menghasilkan Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan atau penunjukan Wakil Presiden dan tata cara pengangkatan pejabat Presiden. Pasal 3 Ketetapan MPRS yakni “Dalam hal terjadi yang disebut dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945, maka MPRS segera memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil pemilihan umum.” Maka dengan demikian ketetapan MPRS No. 111/MPRS/1963 30Ibid , h. 48. 31Ibid. tentang pengangkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup, dicabut dengan ketetapan MPRS No. XVIII/MPRS/ MPRS yang pembentukannya menyalahi ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 ternyata menjadi boomerang bagi Presiden Soekarno. Dalam sidang istimewa MPRS pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967, lahirlah ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Adapun Pasal 4 Ketetapan MPRS yakni “Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XV/MPRS/1996, dan mengangkat Jendral Soeharto, Pengemban ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.” Maka dengan demikian, berakhir era Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama dalam sejarah ketatanegaraan Dalam sidang umum MPRS yang ke-V terakhir yang berlangsung dari tanggal 21 sampai dengan 27 maret 1968. Dengan Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, kedudukan hukum Jendral Soeharto dari Pejabat Presiden menjadi Presiden Seutuhnya. Hal tersebut mengabaikan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1996 dan Pasal 4 Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 yang mengatur bahwa masa jabatan Pejabat Presiden ialah sampai terbentuknya MPR hasil Pemilihan 32Ibid , h. 49. 33Ibid. 34Ibid , h. 50. Setelah Majelis Permusyawaratan hasil Pemilihan Umum 3 Juli terbentuk, dalam sidang umum MPR 1973 dikeluarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 yang mengatur tata cara pemilihan Presiden sebagai berikut 1. Tiap-tiap fraksi, melalui pimpinan masing-masing, menyampaikan secara tertulis calon Presiden yang telah disetujui oleh calon bersangkutan kepada pimpinan MPR. Dalam waktu 24 jam sebelum Rapat Paripurna Pemilihan Presiden Pasal 9 dan Pasal 10. Quorum rapat ialah 2/3 dari jumlah anggota MPR Pasal 31. 2. Pimpinan MPR mengumumkan nama calon yang telah memenuhi syarat jabatan jabatan kepada rapat Pasal 11. 3. Jika hanya ada satu orang calon, rapat langsung mengsesahkannya {Pasal 13 ayat 2}. 4. Jika ada lebih dari satu orang calon, dilakukan voting {Pasal 13 ayat 1}. Yang terpilih ialah calon yang mendapatkan suara minimal “setengah tambah satu” Pasal 14. 5. Jika tidak ada calon yang mendapatkan suara terbanyak mutlak, yaitu minimal “setengah tambah satu”, maka diadakan pemungutan suara tahap kedua yang dilakukan terhadap dua orang calon yang mendapat suara relative lebih banyak dari calon-calon lainnya Pasal 15, maka calon ketiga dan seterusnya gugur. Selanjutnya siapa diantara kedua calon yang mendapatkan suara terbanyak maka ialah yang terpilih Pasal 16. Jika kedua calon tersebut mendapatkan suara sama banyak, maka pada tahap ketiga dilakukan pemungutan suara ulang Pasal 17. Namun jika hasilnya tetap sama, maka pada tahap keempat dilakukan pemungutan suara berdasarkan kehadiran wakil-wakil fraksi yang membawa jumlah suara dari fraksi masing-masing secara tertulis Pasal 18. Selanjutnya, jikalau masih gagal juga, artinya tiap calon tetap mendapatkan suara sama banyak, maka fraksi-fraksi mengusulkan calon lain Pasal 19.35 Namun dalam praktiknya belum pernah ada pemungutan suara. Pemilihan Presiden yang pertama kali sejak terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum atau yang ketiga kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dilangsungkan pada 23 Maret 1973. Karena terdapat calon tunggal, yaitu Jendral Soeharto, maka rapat langsung mengesahkannya sebagai Presiden, sesuai ketentuan Pasal 13 ayat 2.36 Pada pemilihan-pemilihan Presiden berikutnya 1978, 1983, 1988, dan 1993 juga hanya terdapat calon tunggal, yaitu Jendral Soeharto. Selanjutnya, karena pada pemilihan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan pemilihan Presiden Republik Indonesia Serikat pada tanggal 16 Desember 1949 juga terdapat calon tunggal, yaitu Ir. Soekarno, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia telah timbul “tradisi calon tunggal” dalam hal pemilihan Menurut Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, pada masa ini masa Republik keempat meskipun pemilihan Presiden dilaksanakan secara tidak langsung, namun pengisian jabatan Presiden masuk dalam sistem stelsel pemilihan election bukan 35Ibid, h. 50 – 51. 36Ibid , h. 52. 37Ibid. pengangkatan appointment. Karena itu, merupakan suatu anomali38, apabila terdapat ketetapan MPR mengenai pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden. MPR tidak mengangkat, melainkan memilih Presiden dan Wakil Presiden.39 Apabila Presiden tetap dipilih MPR, tidak boleh ada ketetapan tentang pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden, karena bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 yang menegaskan Presiden dan Wakil Presiden dipilih bukan diangkat. Untuk menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, disusun suatu berita acara pemilihan yang berisi penyelenggaraan pemilihan dan penetapan Presiden dan Wakil Presiden Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan menjelaskan pula bahwa terdapat 3 hal yang menunjukkan pemilihan Presiden oleh MPR kurang demokratis, yakni 1. MPR dikuasai oleh suatu kelompok kekuatan politik Golkar yang selalu didukung ABRI, yang sangat dominan sistem partai dominan. Tidak ada kekuatan politik lain yang berimbang untuk memungkinkan mekanisme demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. 2. Praktik calon tunggal yang “dipaksakan”, sehingga secara riil tidak ada pemilihan Presiden. MPR sekedar mengukuhkan calon tunggal yang tidak mungkin ditolak. 38 Anomali adalah penyimpangan dari normal; kelainan; atau ketidaknormalan. Lihat Ivenie Dewintari S dan Alvina Tria Febianda, Kamus Istilah Penting Modern, cet. I, Jakarta Aprindo, 2003, h. 29. 39 Jimly Asshiddiqie dan Bagir Manan, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung, h. 39-40. 40Ibid, 3. Mekanisme kerja MPR diatur dalam Tata Tertib tidak memungkinkan peranan individual anggota. Segala kegiatan dilakukan oleh atau atas nama PengesahanUUD 1945, sebagai landasan hukum yang kuat dalam hidup bernegara dengan menentukan arahnya sendiri. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, secara aklamasi dalam musyawarah untuk mufakat, yakni Soekarno dan Hatta. Pembagian Wilayah Indonesia, menjadi delapan provinsi di seluruh bekas jajahan Hindia Belanda. Dalam sidang pertama BPUPKI, Muh. Yamin menyatakan bahwa Indonesia harus mendapatkan dasar negara atau konstitusi yang berasal dari peradaban kebangsaan Indonesia yang ketimur-timuran dan tidak boleh meniru tata negara lain. Hal itu karena Bangsa Indonesia adalah kebudayaan yang beribu-ribu tahun umurnya. Oleh karena itu, para pendiri negara menyepakati dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan konstitusi negara atau hukum dasar negara. Tata penyelenggaraan negara dan bernegara harus didasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Apa itu konstitusi? Bagaimana perumusan UUD negara republik Indonesia tahun 1945? Apa arti penting dari konstitusi ini? Apa saja peran tokoh perumus UUD 1945? Berikut adalah berbagai uraian dan pemaparan yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pengertian Konstitusi Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu, menurut Jimly Asshiddiqie 2008, hlm. 5 konstitusi bukan undang-undang biasa. Konstitusi tidak ditetapkan oleh lembaga legislatif biasa, tetapi oleh badan khusus dan lebih tinggi kedudukannya. Dalam hierarki hukum, konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi dan fundamental sifatnya sehingga peraturan-peraturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Konstitusi terbagi menjadi dua, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tertulis adalah aturan-aturan pokok dasar negara, bangunan negara dan tata negara yang mengatur perikehidupan satu bangsa di dalam persekutuan hukum negara. Sementara itu konstitusi tidak tertulis disebut juga konvensi, yaitu kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul dalam sebuah negara Budi Juliardi, 2015, hlm. 66-67. Contoh konvensi dalam ketatanegaraan Indonesia antara lain pengambilan keputusan di MPR berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Menurut Wade, Undang-Undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Di dalam negara yang menganut paham demokrasi, Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintahan agar penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindung. Gagasan seperti ini disebut dengan Konstitusionalisme Miriam Budiardjo, 2002, hlm. 96. Negara Indonesia menganut paham konstitusionalisme sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Perumusan UUD 1945 dilaksanakan oleh BPUPKI dalam sidang kedua tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1945. BPUPKI membentuk 3 tiga Panitia Kecil untuk membahas dan mempersiapkan perumusan Undang-Undang Dasar yang merupakan konstitusi atau hukum dasar Indonesia. Pada tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI mengadakan sidang dengan agenda ”Pembicaraan tentang pernyataan kemerdekaan”. Panitia Perancangan Undang-undang Dasar melaporkan hasilnya. Pasal-pasal dari rancangan UUD berjumlah 42 pasal. Dari 42 pasal tersebut, ada 5 pasal masuk tentang aturan peralihan dengan keadaan perang, serta 1 pasal mengenai aturan tambahan. Selanjutnya, Pada sidang tanggal 15 Juli 1945 dilanjutkan dengan acara ”Pembahasan Rancangan Undang-Undang Dasar”. Saat itu Ketua Perancang Undang-Undang Dasar, yaitu Soekarno memberikan penjelasan tentang naskah yang dihasilkan dan mendapatkan tanggapan dari Moh. Hatta. Lebih lanjut, Soepomo, sebagai Panitia Kecil Perancang Undang- Undang Dasar, diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan terhadap naskah Undang-Undang Dasar. Naskah Undang-Undang Dasar akhirnya diterima dengan suara bulat pada Sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945. Selain itu juga, diterima usul-usul dari panitia keuangan dan Panitia Pembelaan Tanah Air. Dengan demikian, selesailah tugas panitia BPUPKI. Pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI yang menggantikan BPUPKI melaksanakan sidang, yakni pada tanggal 18 Agustus 1945. Sidang tersebut masih membahas dasar hukum negara namun sudah menuju pada pengesahan UUD sebagai konstitusi negara. Proses pembahasan berlangsung dalam suasana yang penuh rasa kekeluargaan, tanggung jawab, cermat dan teliti, dan saling menghargai antaranggota. Pembahasan rancangan Undang-Undang Dasar menghasilkan naskah Pembukaan dan Batang Tubuh. Undang-Undang Dasar ini, dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946, Penjelasan Undang-Undang Dasar menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar 1945. Suasana permufakatan dan kekeluargaan, serta kesederhanaan juga muncul pada saat pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden. Risalah sidang PPKI dalam Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995, hlm. 445-446 mencatat sebagai berikut. Keputusan Persidangan PPKI Dalam persidangan PPKI tanggal 18 Agustus 1945, di hasilkan keputusan sebagai berikut. Mengesahkan UUD 1945. Menetapkan Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil presiden Republik Indonesia. Membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat. Sidang PPKI telah melakukan beberapa perubahan rumusan pembukaan UUD naskah Piagam Jakarta dan rancangan batang tubuh UUD hasil sidang kedua BPUPKI. Empat perubahan yang disepakati tersebut adalah sebagai berikut. Kata “Mukaddimah” diganti menjadi kata “Pembukaan”. Sila pertama, yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan rumusan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perubahan pasal 6 UUD yang berbunyi ”Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam” menjadi ”Presiden ialah orang Indonesia asli”. Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi ”Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Arti Penting UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bagi Bangsa dan Negara Indonesia Setiap bangsa yang merdeka akan membentuk suatu pola kehidupan berkelompok yang disebut sebagai negara. Pola ini dalam bernegara perlu diatur dalam suatu naskah berupa aturan hukum tertinggi dalam kehidupan Negara Republik Indonesia yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berisi aturan dasar kehidupan bernegara di Indonesia. Kedudukannya sebagai hukum yang paling tinggi dan fundamental sifatnya, karena merupa kan sumber legitimasi atau lan dasan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak boleh bertentangan dan harus berpedoman pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai warga negara Indonesia, kita semua harus patuh pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kepatuhan warga negara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan mengarahkan kita pada kehidupan yang tertib dan teratur. Sebaliknya apabila Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dipatuhi, maka kehidupan bernegara kita mengarah pada ketidakharmonisan. Akibatnya bisa berakibat pada tidak terwujudnya kesejahteraan, bubarnya negara Indonesia, bahkan terjadi perang saudara. Siapa yang dirugikan? Semua warga negara Indonesia. Peran Tokoh Perumus UUD 1945 Tokoh pendiri negara Indonesia merupakan putra terbaik bangsa yang memiliki kemampuan dan visi ke depan untuk kebaikan bangsa Indonesia. Anggota BPUPKI merupakan tokoh-tokoh bangsa Indonesia dan orang-orang yang terpilih serta tepat mewakili kelompok dan masyarakat dam perumusan UUD 1945. Anggota BPUPKI telah mewakili seluruh wilayah Indonesia, suku bangsa, golongan agama, dan pemikiran yang berkembang di masyarakat saat itu. Ada dua paham utama yang dimiliki pendiri negara dalam sidang BPUPKI, yaitu nasionalisme dan agama. Pendiri negara yang didasarkan pemikiran nasionalisme menginginkan negara Indonesia yang akan dibentuk merupakan negara nasionalis atau negara kebangsaan, sedangkan golongan agama menginginkan didasarkan pada salah satu agama. Berbagai perbedaan di antara anggota BPUPKI dapat diatasi dengan sikap dan perilaku pendiri negara yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. BPUPKI melaksanakan sidang dengan semangat kebersamaan dan mengutamakan musyawarah dan mufakat. Sehingga dalam Persidangan PPKI, para tokoh pendiri Negara dalam perumusan 1945 memperlihatkan kecerdasan, kecermatan, ketelitian, tanggung jawab, rasa kekeluargaan, toleransi, dan penuh dengan permufakatan dalam setiap pengambilan keputusan. Sikap patriotisme dan rasa kebangsaan antara lain dapat diketahui dalam pandangan dan pemikiran mereka yang tidak mau berkompromi dengan penjajah dan bangga sebagai bangsa yang baru merdeka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran tokoh perumus UUD 1945 bukan hanya sebagai perancang dan pembentuk konstitusi saja, namun merupakan wakil dari seluruh golongan masyarakat Indonesia. Referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan SMP/MTs Kelas VII. Jakarta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
JAKARTA, - Pemilu Presiden Pilpres digelar secara langsung untuk pertama kalinya pada tahun 2004. Artinya, melalui pemilu tersebut, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh Pilpres periode-periode sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR melalui sidang umum. Baca juga Pengertian Pemilu, Asas, Prinsip, dan Tujuannya Sejarah pemilihan presiden dan wakil presiden langsung dimulai dari amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga pada tahun 2001. Pasal 6A Ayat 1 UUD menyebutkan, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat," demikian bunyi pasal tersebut. Selanjutnya, 31 Juli 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 5 Ayat 4 UU itu menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR. Baca juga Sejarah Pemilu 2004, Partai Politik Peserta hingga Pemenang Kemudian, pasangan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 66 Ayat 2 UU Pemilu. Apabila tidak ada pasangan calon terpilih sesuai dengan ketentuan tersebut, maka diadakan putaran kedua, yakni dua pasangan calon yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung melalui pilpres. Pemilu presiden langsung pertama digelar pada 5 Juli 2004. Pilpres itu mempertemukan lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Wiranto dan Salahuddin Wahid, lalu Megawati Soekarnoputri dan Hasyim paslon Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar. Jumlah pemilih pada pilpres putaran pertama sebesar orang. Dari angka itu, yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 79,76 persen atau orang. Dari total suara yang masuk, yang dinyatakan sah sebanyak 97,84 persen atau suara. Dari lima kandidat capres dan cawapres, pasangan SBY-Jusuf Kalla mendapat suara terbanyak, disusul oleh pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Rinciannya yakni Wiranto dan Salahuddin Wahid suara atau 22,15 persen; Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi suara atau 26,61 persen; Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo suara atau 14,66 persen; Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla suara atau 33,57 persen; Hamzah Haz dan Agum Gumelar suara atau 3,01 persen. Dari perolehan angka tersebut, tidak ada satu pun pasangan calon yang mendapat perolehan suara lebih dari 50 persen. Oleh karenanya, harus digelar pilpres putaran kedua yang mempertemukan dua paslon dengan perolehan suara terbanyak yakni Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla. Baca juga Sejarah Pemilu 1955, Pemilu Perdana Setelah Indonesia Merdeka Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi kala itu didukung oleh 7 partai yakni PDI Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan PPP, Partai Bintang Reformasi PBR, Partai Damai Sejahtera PDS, Partai Karya Peduli Bangsa PKPB, dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme PNIM. Sementara, SBY-Jusuf Kalla didukung enam partai meliputi Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa PKB, Partai Keadilan Sejahtera PKS, Partai Amanat Nasional PAN, Partai Bulan Bintang PBB, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia PKPI. Pilpres putaran kedua digelar pada 20 September 2004. Saat itu, jumlah pemilih yang terdaftar sebanyak orang. Dari angka tersebut, yang menggunakan hak pilihnya sebesar 77,44 persen atau orang. Lalu, dari total jumlah suara, yang dinyatakan sah sebesar 97,94 persen atau suara. Pilpres putaran kedua menetapkan SBY-Jusuf Kalla sebagai pemenang, mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi. Rincian perolehan suaranya yakni Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi suara atau 39,38 persen; Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla suara atau 60,62 persen. SBY dan Jusuf Kalla pun dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI pada 20 Oktober 2004. Sejak saat itu, Pilpres selalu digelar secara langsung. Rakyat dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.